Cari Makalah Disini

...............................................................................

ATRESIA ANI

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Penyakit Atresia ani adalah tidak terjadinya perforasi membrane yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak berhubungan langsung dengan rectum (sumber Purwanto, 2001 RSCM)
Waktu penanganan Atresia ani tergantung pada jenis atresia ani, semakin tidak ada anus maka penanganan atresi ani semakin cepat dan segera mungkin, penanganan pasien atresia ani membutuhkan waktu yang lama karena operasi yang dilakukan untuk pasien atresia ani > 2 kali, operasi pembentukan coloctomi, PSA dan penutupan colostomi. Sehingga dalam penanganannya membutuhkan perawatan pra dan post colostomi.
Dalam merawat pasien pra dan post colostomy membutuhkan ketelitian kebersihan dan kesiapan yang baik karena jika tidak maka akan menimbulkan komplikasi infeksi yang mengakibatkan penyembuhan menjadi lama bahkan bertambah parah.
Mengingat begitu besar peran dan fungsi perawat dalam merawat pasien Atresia ani baik pre dan post operasi. Penulis merasa tertarik untuk membahas asuhan keperawatan pada pasien post op kolostomi dengan Atresia Ani dengan harapan bahasan ini akan lebih meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa/i memahami tentang Atresia Ani dan asuhan keperawatan pada anak pra dan post operasi pasien Atresia Ani.

2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khususnya, penulis mampu :
a.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu melakukan pengkajian terhadap klien pre dan post operasi Atresia Ani.
b.    Mahasiswa dan mahasiswi dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada klien pre dan post operasi Atresia Ani.
c.    Mahasiswa dan mahasiswi membuat rencana keperawatan untuk klien pre dan post operasi Atresia Ani.
d.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu asuhan keperawatan pada klien pre dan post operasi Atresia Ani.
e.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu melakukan evaluasi pada klien pre dan post operasi Atresia Ani.

B.   Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ilmiah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu metode ilmiah untuk menggambarkan hasil pengamatan secara sistematis.

C.   Sistmatika Penulisan
Dalam makalah ini terdapat 3 bab yang didalam terdiri masing – masing :
Bab I        : pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, tujuan , metode dan sistematika penulisan.
Bab II       : tinjauan teori yang terdiri dari : konsep dasar dan asuhan keperawatan
Bab III      : penutup.


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.   Konsep Dasar
1.    Pengertian
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia Ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Jadi dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan kongenital ditandai dengan tidak adanya lubang atau saluran anus/rektum atau keduannya yang disebabkan tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm.

2.     Anatomi Fisiologi

Pencernaan adalah proses pemecahan molekul-molekul zat makanan dari yang lebih besar menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga dapat diserap oleh dinding usus halus. Proses pencernaan makanan dibantu oleh HCl, garam empedu dan berbagai enzim pencernaan yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan. Selain kelenjar pencernaan, proses ini juga memerlukan alat-alat pencernaan.









Berikut dijelaskan proses pencernaan makanan secara berurutan dari mulut hingga usus besar:
a.    Mulut
Di dalam rongga mulut, makanan dicerna secara mekanik dan kimiawi. Pencernaan mekanik dibantu beberapa organ yaitu gigi dan lidah. Gigi berfungsi untuk memotong dan penghalus makanan. Lidah digunakan untuk mengatur letak makanan dalam mulut, sebagai indra perasa dan mendorong makan masuk ke kerongkongan. Adanya kelenjar ludah di sekitar mulut dapat membantu pencernaan secara kimiawi. Kelenjar tersebut menghasilkan enzim ptialin yang berfungsi memecah amilum menjadi disakarida.
b.    Kerongkongan (Oesophagus)
Organ ini berfungsi menghubungkan mulut dengan lambung (panjang: sekitar 20 cm). Selama di kerongkongan makanan tidak mengalami proses pencernaan, karena di kerongkongan hanya terjadi gerak peristable.
c.    Lambung (Gaster)
Lambung berbentuk seperti kantung yang terdiri dari fundus, kardiak dan pilorus. Di organ ini makanan dicerna secara kimiawi dengan bantuan getah lambung. Sekresi getah lambung dipacu oleh hormon Gastrin.

d.    Usus Halus (Intestin)
Saluran usus halus merupakan saluran terpanjang yang terdiri dari duodenum (usus dua belas jari),  jejunum (usus kosong) dan ileum (usus penyerapan). Dalam usus duodenum bermuara dua saluran dari pankreas dan hepar. Hepar akan mengirimkan getah empedu ke duodenum untuk mengemulsikan lemak. Usus halus juga bisa mensekresi enzim antara lain erepsinogen dan enterokinase. Enterokinase adalah enzim pengaktif, yang dapat mengaktifkan tripsinogen menjadi tripsin dan erepsinogen menjadi erepsin.
Hasil pencernaan di usus halus akan diserap oleh jonjot usus (villi) yang ada di illeum dan kemudian diedarkan ke seluruh tubuh. Sebelum beredar, sari makanan dialirkan dulu ke hepar melalui vena porta hepatica. Khusus untuk lemak dan vitamin yang larut dalam lemak tidak diangkut melalui darah tapi melalui pembuluh getah bening.
e.    Usus Besar (Colon)
Di dalam colon tidak ada lagi proses pencernaan. Dengan adanya Escherichia coli, sisa pencernaan akan dibusukkan dan diperoleh vitamin K dari proses tersebut. Fungsi utama colon adalah mengatur keadaan air sisa makanan.
f.     Rektum
Rektum ini merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, panjangnya 12 cm, dimulai dari pertengahan sakrum sampai kanalis anus.
Rektum terletak dalam rongga pelvis didepan os sarkum dan os koksigis.
Rektum terdiri atas dua bagian yaitu :
1)    Rektum propia : bagian yang melebar disisa sebut ampula rekti, jika terisi makanan akan timbul hasrat defekasi
2)    Rektum analis rekti : sebelah bawah ditutupi oleh serat-serat otot polos (muskulus spingter ani  internus dan muskulus sfingter ani eksternus). Kedua otot ini berfungsi pada waktu defekasi. Tunika mukosa rektum mengandung pembuluh darah, jaringan mukosa dan jaringan otot yang membentuk lipatan  disebut kolumna rektalis. Bagian bawah terdapat vene rektalis (hemoroidalis


http://www2b.biglobe.ne.jp/~dr-ok/gif/zkouzou.gif

superior dan inferior) yang sering mengalami pelebaran atau varises yang disebut wasir (ambeyen).
g.     Anus

Anus merupakan saluran pencernaan yag berhubungan dengan dunia luar terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh spingter ani yang terdiri atas :
1)    Spingter ani internus : terletak disebelah dalam bekerja tidak menurut kehendak
2)    Spingter lefatomi : bagian tengaah bekerja tidak menurut kehendak
3)    Spingter ani eksternus : sebelah luar bekerja menurut kehendak

Defekasi adalah hasil refleks. Apabila bahan feses masuk kedalam rektum, dinding rektum akan meregang menimbulkan impuls aferens disalurkan melalui pleksus mesentrikus sehingga menimbulkan gelombang peristaltik pada kolon desenden dan kolon sigmoid yang akan mendorong feses ke arah anus. Apabila gelombang peristaltiik sampai di anus, spfingter ani internus akan menghambat feses sementara dan sfingter ani eksternus melemas sehingga terjadi defekasii.

3.    Etiologi
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan penyakit anomaly kongenital (Bets. Ed tahun 2002). Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a.    Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
b.    Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
c.    Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

4.    Patofisiologi
a.    Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b.    Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
c.    Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.
d.    Berkaitan dengan sindrom down.
e.    Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan

5.    Manifestasi Klinik
a.    Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
b.    Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
c.    Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
d.    Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
e.    Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
f.     Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
g.    Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)

6.    Pemeriksaan Diagnostik
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a.    Pemeriksaan radiologis : dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b.    Sinar X terhadap abdomen : dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
c.    Ultrasound terhadap abdomen : digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d.    CT Scan : digunakan untuk menentukan lesi.
e.    Pyelografi intra vena : digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
f.     Pemeriksaan fisik rectum : kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
g.    Rontgenogram abdomen dan pelvis : juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

7.    Penatalaksanaan
a.    Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b. Pengobatan
1)    Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
2)    Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen) (Staf Pengajar FKUI. 205).

B.   Asuhan Keperawatan
1.  Pengkajian
a.    Biodata klien
b.    Riwayat keperawatan
-        Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
-        Riwayat kesehatan masa lalu

c.    Riwayat psikologis
Koping keluarga dalam menghadapi masalah
d.    Riwayat tumbuh kembang
-        BB lahir abnormal
-        Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami trauma saat sakit
-        Sakit kehamilan mengalami infeksi intraparta
-        Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
e.    Riwayat social
Hubungan social

                                                                            
f.     Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).

2.    Diagnosa Keperawatan
Dx pre operasi
a.    Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b.    Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.
c.    Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.
Dx Post Operasi
a.    gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan
b.    gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
c.    resiko infeksi Berhubungan dengan prosedur pembedahan
d.    Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
3. Rencana Keperawatan
a.    Diagnosa Pre Operasi
Dx. 1 Konstipasi berhubungan dengan aganglion
Tujuan : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria Hasil : Penurunan distensi abdomen, meningkatnya kenyamanan.
Intervensi :
1)    Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order
R/ Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak.
2)    Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam
R/ Meyakinkan berfungsinya usus
3)    Ukur lingkar abdomen
R/ Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi
Dx 2 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah
Tujuan : Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
Kriteria Hasil : Output urin 1-2 ml/kg/jam, capillary refill 3-5 detik, trgor kulit baik, membrane mukosa lembab
Intervensi :
1)    Monitor intake – output cairan
R/ Dapat mengidentifikasi status cairan klien
2)    Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV
R/ Mencegah dehidrasi
3)    Pantau TTV
R/ Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang tinggi
Dx 3 Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan : Kecemasan orang tua dapat berkurang
Kriteria Hasil : Klien tidak lemas

Leave a Reply